Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 Oktober 2010

Antologi Puisi W.S Rendra

KANGEN



Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku

menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

kau tak akan mengerti segala lukaku

kerna luka telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.

Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.

Apabila aku dalam kangen dan sepi

itulah berarti

aku tungku tanpa api.



KENANGAN DAN KESEPIAN

Rumah tua

dan pagar batu.

Langit di desa

sawah dan bambu.



Berkenalan dengan sepi

pada kejemuan disandarkan dirinya.

Jalanan berdebu tak berhati

lewat nasib menatapnya.



Cinta yang datang

burung tak tergenggam.

Batang baja waktu lengang

dari belakang menikam.



Rumah tua

dan pagar batu.

Kenangan lama

dan sepi yang syahdu

Puisi-puisi Rendra




KELELAWAR

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.

Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi metafizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

W.S. Rendra Koleksi Puisi-puisi Willibordus Surendra (m/s:11)



PAMFLET CINTA

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan
.… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku Kangen

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih,…
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978



Puisi Terakhir Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu


Surat Cinta

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !





Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada








SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998

SAJAK SEBATANG LISONG

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
????????..

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
???????????

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA( itb bandung - 19 agustus 1978 )



Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!


Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Cipayung Jaya
3 Desember 2003
Rendra


Selayang pandang tentang sastra

(1) Apakah sastra itu ? 
Sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartisikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. secara umum, sastra dapat diartikan sebagai seni bahasa.  

(2) Aspek apakah yang harus ada dalam sastra? 
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu   keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
(3) Ada berapa jenis sastra? 
Sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama.
(4) Apakah puisi itu? 
Puisi ialah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus. Puisi mencakupi satuan yang lebih kecil, seperti sajak, pantun, dan balada.  
(5) Apakah prosa? 
Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Yang termasuk prosa, antara lain cerita pendek, novel, dan esai.  
(6) Apakah drama itu? 
Drama ialah jenis sastra dalam bentuk puisi atau prosa yang bertujuan menggambarkan kehidupan lewat lakuan dan dialog (cakapan) para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan panggung.  
(7) Apakah sanjak itu? 
Istilah sanjak dihindari pemakaiannya. Sebagai gantinya digunakan istilah sajak. .
(8) Apakah sajak itu? 
Sajak ialah karya sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi keduanya. Kekhususannya, jika dibandingkan dengan bentuk sastra yang lain, terletak pada kata-katanya yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama.
 
(9) Apakah rima itu? 
Rima ialah pengulangan bunyi berselang dalam sajak, baik di dalam larik (baris, leret) maupun pada akhir larik-larik yang berdekatan. Agar terasa keindahannya, bunyi yang berima itu ditampilkan dalam tekanan, nada, atau pemanjangan suara. Jenis rima, antara lain runtun vokal atau asonansi, purwakanti atau aliterasi, dan rima sempurna. Contoh: Apa yang terjadi nanti
10) Apakah manfaat sastra?
Penyair Romawi kuno, Horatius merumuskan manfaat sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu dulce et utile 'menyenangkan dan bermanfaat". Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan sastra, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan sastra.
(11) Hiburan apakah yang ditawarkan sastra? 
Sastra, antara lain menawarkan humor seperti yng dilihat pad petikan berikut : Hujan Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air Penderitaan Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan (Taufik Ismail) Siapakah pembaca yang tidak tersenyum simpul digelitik humor sajak ini?
(12) Pengalaman apakah yang ditawarkan sastra? 
Sastra, antara lain, menawarkan pengalaman hidup yang dapat memperluas wawasan pembacanya seperti yang terlihat pada sajak berikut. TUHAN, KITA BEGITU DEKAT Tuhan, Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begiu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu (Abdul Hadi) Penyair Abdul Hadi ingin berbagi pengalaman religiusnya dengan pembacanya. Pada suatu saat ia begitu dekat dengan Tuhan. Pada saat yang lain ia merasa tidak berarti di hadapan Tuhan, seperti nyala lampu ketika padam, musnah, hilang, ke dalam Yang Mahagaib.

Selasa, 19 Oktober 2010

Antologi Puisi

             Puisi Bukan sekedar ungkapan hati, perasaan, pikiran, dan semangat pengarangnya. tapi puisi memiliki makna dan pesan yang di kemas dalam bahasa yang indah dan memesona. Puisi adalah gambaran kehidupan yang dituangkan dalam goresan tinta dengan memunculkan pencitraan sebagai representasi dari hati dan pikiran penulisnya. dalam perkembangannya, puisi tidak lagi terikat oleh permainan rima dan aturan aturan. dalam menulis puisi seorang pengarang bisa menumpahkan pikirannya dengan bebas dan penuh ekspresif.
            Puisi sebagai salah satu genre sastra tidak haya menjadi pelengkap dalam kesusastraan. tapi puisi memiliki perannya sendiri dalam membangun mental spiritual dan memperhalus budi para peminatnya. sejarah sudah mencatat bahwa puisi tetap eksis dalam segala zaman. Bahkan di era global yang di dominasi oleh tekhnologi mutakhir seperti saat ini. puisi masih bertahan dan menjadi salah satu komponen dari pekembangan jaman yang penuh tantangan. berikut ini adalah beberapa puisi yang di tulis berdasarkan realita kehidupan dengan menjadikan alam sebagai lambang .



Tentang hidup dan Keabadian
Tentang kebenaran dan kesangsian anak manusia
Dalam goresan tinta emas pada masa yang tak mengenal batas, 
ada juga air mata pada bingkai tua. Inilah kisah tentang kebenaran abadi.



Karena Kamu
aku adalah awan hitam yang mencoba menahan sinarmu
semakin tebal, semakin aku tak berdaya
dan aku menjadi butiran hujan yang meleleh dalam hangat senyummu

kemarin kamu adalah air mata
tapi saat ini kamu menjadi udara dalam hela nafasku

mungkin aku harus memilih
menjadi gunung es yang mencair
atau bola salju yang bergulir dengan sendirinya


Racun

kalau saja hatimu sesak dengan kebencian masa lalu
izinkan aku menyisipkan sepenggal rasa yang tersisa

kalau tidak
biarkan aku menyayat rongga dadamu
memeberikan luka kedua ditempat yang sama
agar aku bisa menawarkan kebencian itu
dan mennumpahkan semua racunnya

semuanya
agar kamu bisa kembali pada jalan fitrahmu

padamu aku takkan kembali
Karena hanya padaNya semua akan kembali.

Probolinggo, 27 Oktober 2009



 Evolusi Kalbu

cintaku subur di dunia yang kerontang, tak tergoyah oleh angin penderitaan,
Bahkan tak terhapus oleh derasnya gelombang suara sumbang.

tapi sayang...!!!
dzahirmu kini memupuk segenap keraguanku
hingga hatiku terdampar diantara ambisi dan nurani

Malang, 9 Agustus 2007


Permintaan

aku sudah melewati pasang surut kehidupan
kulitku sudah merasakan dahsyatnya badai matahari
tapi semua itu takkan menggoyahkan keyakinan dan prinsip hidup yang kupahat dalam nurani terdalam

aku akan tetap berdiri di hadapan Mu
sekalipun garis takdir memporak-porandakan semesta raya
akupun akan selalu bersujud
sekalipun jasad ini lepas dari pemiliknya

tapi tuhan....
jangan terburu-buru
aku masih ingin menjadi orang besar


Surga Cinta

Aku tak pernah terusir dari surga
Karena aku bukan adam dan ia bukan hawa

Aku tak pernah khilaf  karena cinta
Tapi tuhan pisahkan kita
Seperti mereka yang terpaksa membangun surganya sendiri-sendiri

Aku bukan adam yang bisa hidup tanpa surga
Karena surgaku adalah kamu.

Bila hari ini aku masih bertahan
Itu karena kau masih ada dalam hela nafasku,
Dalam darahku,
Dalam bayang-bayang semu  yang kemudian lenyap saat ku rengkuh


Tuhan padamu aku pasrah
Karena aku percaya, Adam dan hawa pasti bersatu
Dan mereka punya satu surga
Yaitu cinta!
Hilangnya Terang

Kabut di matamu begitu tebal
Seolah-olah pekat tak tersentuh oleh terang
Mungkin sudah terlalu lama
Air mata itu mengendap dalam rawa kepedihan

Sempat ku hapus duka di matamu
Saat tenggelam kurasakan badai
Sepertinya kepedihan menyisakan jeram dihatimu

ketika matahari itu datang
Kabut mulai beranjak dari pelupuk matamu yang teduh
Tapi matahari masih bukan milikmu
Karena kabut merampas terang
Dan kau tertunduk rapuh

Kalau saja aku bisa
Aku tidak ingin kamu menjadi apapun
Karena kamu adalah air mata

Simpul di Wajahmu

Matamu adalah pertir bagi semestaku
Remuk aku menjadi bongkah-bongkah debu
Aku tahu, Alismu bukan bulan sabit
Tapi indah itu adalah kelopak matamu

Didagumu kutemukan sepotong surga
Tapi aku tak pernah tahu itu milik siapa?

Aku pernah menatapmu
Di rembang yang tak kenal mati
Kurangkai simpul di wajahmu
Sampai dunia bicara
Mungkin tak pernah ku temui dalam mimpi atau imaji

Mungkin karena kata tak lagi ada

Sebab ketiadaannya pun serasa sama
Mungkin saja kali ini senyum dibibirmu adalah misteri
Namun aku yakin bisa menyingkap semua
Seperti angin pada kabut yang menjadikannya lenyap

Selamat Tinggal Cinta

Kemarau telah merenggut tubuhmu dalam debu
dan aku melepasmu dalam udara kepedihan

semesta  terdiam 
Langitpun membisu
Hanya aroma bunga dan tanah basah  mencoba untuk bercerita
Bahwa cinta butuh lelah

Cintaku tak se kekal yang ku duga
Seperti kamu yang pergi untuk tak kembali
Selamanya


Aksara cinta Untuk Dia

Wanita yang berjalan di tebing-tebing cintaku
Adalah kamu gadis purbawi dalam selimut nafasku

Namamu serupa pahatan aksara yang tak sempat terbaca
Sekalipun pernah ku eja  tetap saja
Aku tak mengerti tentang barisan makna

Bila nanti aksara cinta bercampur debu
Biarkanlah aku memujamu seperti berhala dalam beku salju

Tapi jangan pernah biarkan aku
Terbeku dalam kabut Tanya yang memeluk segala keraguan.



Badai Kalbu

Asmara ku
Tenggelam dalam sejuta ambisi
Cintaku
Terpasung oleh hasrat liarku sendiri

Nurani, kujadikan tumbal
Akal sehat, kuracuni dengan segala pembenaran
Kesabaran, ku lumpuhkan dengan obsesi

Semuanya lenyap
Semuanya berubah

Yang tersisa adalah  impian, dan harapan yang berjalana sendiri-sendiri

diambil dari antologi Heroe Asmara