Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 November 2010

Penggalan novel Heroe Asmara

PELANGI CINTA DI KAMPUS HIJAU
 
Kisah ini tergurat di atas kebenaran dan ketidak sempurnaan cinta. Kisah sederhana tentang keterbatasan  anak manusia dalam mendefinisikan makna  cinta yang terurai dalam paradigma-paradigma tanpa batas. Ini semua adalah tentang aku dalam sepenggal wakutku. Juga Untuk dia dan kamu!!

Sore itu senja merentangkan sayapnya di kota kecil yang hijau. Tiba-tiba awan hitam bergelayut menutupi langit sore. Awan pun retak sembari menumpahkan gerimis tipis di kota kecil itu. Dari dalam angkot, ku reguk segarnya aroma tanah bercampur debu. Aku takjub, Mataku dimanjakan oleh Pohon-pohon tua yang kokoh menjulang disepanjang jalan.. Di kota kecil inilah kutumpahkan segenap asaku. Aku datang, aku melihat, dan aku menyatu dalam dimensi sosial yang begitu asing. Sore itu aku sampai di kota Bunga, Tampak dari kejauhan pucuk-pucuk daun dan hamparan rumput hijau menghiasai halaman kampus. Semua seolah menyapaku dengan pesonanya. aku semakin yakin, bahwa ini adalah masa-masa yang menentukan. Sebuah babak baru dalam perjalanan hidupku yang penuh kisah dan takkan habis di kaji sejarah.
Senin pagi di bulan Agustus. orientasi pengenalan kampus dimulai. Wajah-wajah asing para mahasiswa kembali memanjakan mataku, ada yang memberi senyum, ada juga yang menyimpan wajah misteriusnya di balik jilbab dan tatapan beku.  Di kelas kecil ukuran tujuh kali sembilan, tiba-tiba seorang gadis manis menyapaku, “Hai..! kamu anak mana?” spontan aku menjawab “Probolinggo”, gadis itu terkejut! Komunikasi pun berlanjut tanpa peduli dengan agenda OSPEK. Di luar dugaan, ternyata gadis manis itu berasal dari daerah yang sama! Namanya adalah Tia,  Sejak hari itu kami menjadi lebih dekat, dan kebersamaan benar-benar terjalin atas nama persahabatan.
Hari terus berganti, kegiatan kuliah berjalan tanpa hambatan. Hati dan pikiran  terasa bebas dan lepas untuk menunjukkan eksistensiku sebagi seorang mahasiswa. Apalagi aku mengambil jurusan sastra yang menuntut kreativitas dan aktualisasi diri.  Senangya bila setiap hari tiada masalah dan beban dalam kepala. Hanya materi kuliah yang dijejalkan dalam otakku. Dengan kata lain semuanya berjalan dengan normal.
Hari ini benar-benar dingin, suhu udara dalam kamar terasa kurang dari 16 derajat celcius, dinginnya udara membuatku enggan untuk bangun. Tiba-tiba ada suara perempuan memanggilku sembari mengetuk pintu kamar. Aku tersentak, aku bangkit dari tidur ku sambil melepas selimut. Saat ku buka pintu, tiba-tiba wajah manis sudah menunggu dibalik pintu, suasana dingin berubah menjadi hangat ketika dia datang. Aku tak percaya, dia seperti matahari pagi yang membakar dingin dengan senyumnya. Setelah aku asyik menikmati wajahnya, kemudian tia berkata “Er ayo cepet mandi, udah siang nih! Kamu gak mau kuliah?,” mendengar suaranya aku langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Dalam hitungan menit semuanya beres dan kami pun berangkat.
Ketika perkuliahan usai, Tia tampak sibuk ngobrol dengan temannya. Aku jadi enggan untuk mengajaknya pulang. Tiba-tiba dari belakang  sheila memanggilku, dia adalah perempuan yang cukup care dan seringkali memberikan perhatian lebih setiap kali bertemu. Aku sedikit tergoda dengan sikap manjanya. Wajar saja, dia adalah cewek paling modis di kelas sastra. “Er pulang bareng yuk”, tegasnya sambil menggandeng tanganku! Aku diam kemudian ikut seperti tak punya pendirian. Setelah tiga langkah ku sempatkan menoleh ke belakang. Kulihat Tia meneteskan air matanya, dia mendahului ku dan keluar kelas dengan wajah  penuh duka. Seolah-olah tak rela melihat Sheila menggandeng tanganku. Entahlah? mungkin dia cemburu, mungkin juga persahabatan kami terlalu dalam hingga dia tak rela sahabatnya jalan dengan wanita lain. Hatiku terus bertanya, ada apa dengan Tia?.
Hari berikutnya di sudut gedung F Tia terlihat murung, seolah-olah awan hitam menghalangi senyum dari bibirnya. Mungkin dia masih terbawa peristiwa kemarin. Melihatnya aku jadi tak tega, Aku mencoba mendekatinya sambil mengajaknya ngobrol. “Tia kamu kenapa?”. Dengan suara agak serak tia menjawab, “Aku gak papa Er, trimakasih kamu udah peduli, tapi hari ini aku masih ingin sendiri”. “Baiklah kalo gitu, setelah ini, aku harap kamu mau menceritakan semuanya”, jawabku sambil meninggalkan ia sendiri. Sementara Tia terdiam dengan maksud yang tak ku mengerti, Hari itu aku melihat Sheila tampak cantik dengan busana serba minim. Pampilannya mencuri perhatianku. Pikiranku seperti teracuni oleh keindahan tubuhnya, aku pun lupa dengan kondisi Tia sahabatku.
Saat dosen mengakhiri perkuliahan,  Sheila menatapku sambil mengankat tangannya”hai Eeeer!. Aku membalasnya dengan lambaian tangan. Beberapa saat kemudian sheila kembali menghampiriku dan menggandeng tanganku, sikapnya seperti ingin mengulang peristiwa kemarin. Aku pun menuruti kemauannya. Dari ruang kelas kami melangkah meninggalkan gedung termegah di Kampus hijau. langkah kakiku terasa ringan, sedangkan jantung berdebar dengan hebatnya. Aku tak percaya hari itu Sheila berani menggandeng tanganku sampai ke kamar kos yang lembab dan dingin. Di kamar kecil ukuran tiga kali empat itu hanya ada aku dan dia. jantungku berdebar kencang saat melihat Sheila mengunci pintu, setiap detik semakin kencang seperti hentakan kuda yang dipacu dengan cepat. Kemudian dia menangis dihadapanku sembari berkata, “Er beri aku kesempatan, aku sayang sama kamu. Masak selama ini kamu gak ngerti itu”?. Melihat dia menagis aku menyandarkan diri pada dinding kamar. Berharap bisa tegar menghadapi Sheila. Sesaat setelah aku bersandar Sheila memegang tanganku sambil menangis. Ia pun memelukku dengan erat. Akupun mendekapnya. “Ya Tuhan dosakah aku”, nuraniku berkata. Koflik batin berkecamuk dalam dada. Wanita yang baru ku kenal beberapa pekan yang lalu seolah menyerahkan dirinya. Akhirnya pikiran liar itu tumbuh dan membunuh nuraniku. Aku tenggelam dalam pikiran sesat. Hari itu aku melakukan yang tak seharusnya aku lakukan. Penyesalan itu berakhir dalam baris-baris puisi yang tergores pada catatan kecilku,.

Air Mata Dosa
Dilantai itu setetes mutiara wakili luka
Kusaksikan dengan segala kesangsian nalarku
betapa benar
Mutiara itu adalah tumpahan air mata.
Sayang
Air matamu adalah badaiku
Badaiku badaimu tumpah dalam kepedihan yang sama
Dan kita telah tenggelamkan dunia


Aku Kembali


Dingin sulami tubuhku dalam kabut tak terbendung
Memasung segenap gairah nafas dalam ronta jiwa paling liar

Aku bosan…!

Aku kembali untuk membasuh sajadah dengan air mata
Mungkin aku telah berdosa

Tragedi 1 Januari
Satu minggu setelah libur UTS aku kembali ke kota Bunga. Di sisi jalan aku melihat Sheila dibonceng seorang pria dengan motor sport. Mereka tampak intim. Sheila pun melihatku dengan wajah terperangah. kali ini Hatiku seperti terbakar, bahkan gerimis pun tak sanggup memadamkan amarah bercampur dendam. Ternyata aku kembali dengan kado istimewa. Tanggal 31 Desember sore di kos 368, terdengar suara perempuan memanggil-manggil sambil menggedor pintu. Saat ku buka, sheila suda berdiri di depan pintu. dia datang dengan raut wajah penuh sesal. Sheila  kembali menumpahkan air matanya di tempat yang sama. tapi aku tak lagi percaya dengan dia. Aku tak ingin melakukan apapun kecuali membencinya. Tapi dalam hitugan menit semuanya berubah. Kondisi kamar yang dingin dan lembab membuat pikiranku berkata lain, di dada memang tak ada cinta, hanya hasrat manusiawi menguasai diri. Akhirnya bibirku melontarkan pemberian maaf,  kemudian bercumbu mesra sekalipun tidak dengan cinta.
Setelah adzan magrib berkumandang, Sheila pun beranjak dari kamarku. sembari berkata. “Er nanti malem kamu ada waktu kan?”, aku menjawab “Tentu”. “Kalo gitu kamu mau kan nemani aku menghabiskan malam ini, mau ya Er?” dia merajuk seolah memaksa. Tanpa berpikir kemudian aku mengangguk dan memenuhi permintaan Sheila. Setelah sholat isya kamipun berangkat.
Malam terakhir di bulan Desember memang selalu indah. Malam yang di tunggu oleh jutaan orang di seluruh dunia. Begitu juga dengan kami yang tenggelam dalam badai asmara. kali ini Aku dan sheila memilih pantai untuk menyambut malam pergantian tahun. Malam itu kami menikmati indanya taburan bintang di langit hitam. lembutnya pasir putih dan debur ombak menjadi instrument saat kami ngobro-ngorol kecil di bibir pantai. Suasana semakin dramatis  saat pancaran kembang api di sudut dermaga menghiasi langit malam. Semuaya berbahagia, terdengar sorak sorai dan suara terompet bersahutan  seolah sudah tak sabar menanti pergantian tahun. Begitulah malam itu berlalu begitu saja. Tak ada kata selain hasrat untuk berbagi cinta.  seketika suasana pun hening. Jam satu malam kami meninggalkan pantai pasir putih, berharap dapat hotel untuk tempat beristirahat. Tapi malam itu semua hotel di sekitar pantai sudah penuh. Kami putuskan mencari hotel ditempat yang agak jauh, kami terus mencari, hingga sampai dikota Proling. Dari kaca mobil terlihat papan nama bertuliskan Hotel Srikandi. Tidak ada pilihan lain, kami pun bermalam di hotel itu.
Satu januari di hotel srikandi, perasaanku memuncak. aku merasa lelah dengan status hubungan yang tak punya arah. mungkin Sudah terlalu lama sheila mengisi hari-hariku dengan kisah-kisah rumit. seketikat aku sadar, aku mencoba menegaskan perasaan liarku  yang selama ini lebih mendewakan hasrat.  Pagi itu sengaja ku temani sheila di kamar hotel. Setelah suasana hening, tanpa basa-basi ku ungkapkan semuanya pada sheila, berharap perasaanku akan dibalas dengan perasaan yang sama. dan tuhan pun menentukan takdirnya. Hari itu menjadi akhir dari rumitnya kisah asmaraku dengan sheila. Dan kami pun mengambil jalan hidup masing-masing.
Sejak peristiwa itu, aku mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan Sheila. Hatiku seolah sedang melewati fase kesepiannya. Seperti kupu-kupu kecil yang baru keluar dari kepompongnya, kemudian terbang mencari sesuatu yang tak pernah ia tahu.  Ketika hatiku terasa kosong, beberapa temanku mencoba menghiburku dengan mengajakku ke tempat-tempat hiburan malam. Setelah beberapa kali kesana, akhirnya aku terjebak dalam dunia malam yang yang menawarkan sejuta kenikmatan.
Malam senin, dibulan November, aku dan kawan-kawan berencana menghabiskan malam di hugo`s café. Tepat jam sepuluh malam kami ber lima berangkat dengan busana anak dugem. Perjalanan kami ditemani alunan musik dari sound mobil yang memekakkan telinga. Mobl terus melaju kencang dan kami pun siap menikmati malam tanpa beban.
Tak lama kemudia mobil berputar arah dan berhenti.
“Ayo turun, Udah nyampek nih”, ucapnya sambil menutup kaca mobil.
Akupun keluar bersama teman-teman yang lain. Dari depan café sudah terdengar sayup-sayup suara musik. Kami pun masuk dan menikmati indahnya dunia gemerlap. Malam itu ruang cafe sangta sesak. Asap rokok begitu tebal , kepulannya membuat mataku perih. Pantaslah, karena aku bukan perokok dan baru akrab dengan dunia malam. Saat ku pegang kedua mataku, tiba-tiba seorang gadis menabrakku. Rupanya di sedang ada masalah dengan beberapa  pria berbadan tinggi.
Sambil memegang tanganku dia berkata, “Mas tolongin aku!”
Aku menjawabnya dengan suara lantang, “Tolongin apaan?’
“Bawa aku keluar mas”, tegasnya seperti berbisik!
“Ngapain keluar?”
“Udahlah nanti kuceritakan di luar”
Tiba tiba Aku melihat tiga pria menuju ke arah kami, wajahnya tidak jelas karena lampu diskotik perpancara di seluruh ruangan. Akhirnya ku putuskan untuk menolongnya. Aku menarik tangannya dan membawanya keluar.
“Sekarang kamu ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi”
“Salah satu dari tiga pria tadi itu mantan pacarku mas”
“Terus kenapa kamu seperti ketakutan”
“Entahlah, aku  takut, dia selalu mengikutiku, oya terima kasih ya.”
“sama-sama” jawabku.
Ketika aku ingin masuk, dia kembali menarik tanganku. Dan  bertanya, “Oh ya nama kamu siapa?”.
“Aku Erik!, kamu?”
“Aku Feni, Erik boleh minta nomor HP km?”
Akupun memberinya dan masuk ke dalam.cafe.
Di dalam anak-anak terlihat asyik ngobrol di sudut ruangan, seperti biasa mereka ditemani beberapa gadis dan botol minuman yang tertata rapi di atas meja. Aku tidak bergabung dengan mereka, aku lebih suka menikmati hentakan musik sambil menggerakkan seluruh tubuhku. Tiba tiba seseorang memegang kedua bahuku dari belakang, salah satu dari mereka memegang bajuku dari depan, aku berontak mencoba lepas dari kepungan mereka, tak terasa satu pukulan mendarat pada kepla bagian samping, aku pun membalasnya. Dalam hitungan detik suasan berubah ricuh, aku mendapatkan bogem mentah dari berbagai arah. Akhirnya kami diamankan oleh petugas keamanan dan membawaku ke pos satpam. Setelah lama bernegosiasi akhirnya kami di izinkan pulang. di dalam mobil badanku terasa sakit semua. Akupun tidur di dalam mobil dengan posisi tak ideal.
Sore hari hujan lebat tak kunjung reda, udara dalam ruangan terasa semakin dingin. Tiba-tiba HP ku berdering, saat ku angkat tiba-tiba suara perempuan menyapaku, Hellooow “
“ya, Helloo ini siapa?’ Tanya ku sambil menggigil.
“Masak lupa, ini aku!”
aku berpikir sejenak…”Oowwww  ini pasti Feni!”
“Iyaaaaaa!”
“Ada apa Feni?”,
“Erik, Aku mohon maaf ya, gara-gara aku kamu jadi berantem dengan  mereka”
“Sudahlah gak apa-apa, kamu tahu dari siapa aku berantem?”
“Temanku yang bilang, mereka pikir kamu pacar ku, jadi mereka marah sama kamu”.
“Sudah lupakan aja” ujar ku
Sore itu kami ngobrol lama, sebelum ku tutup telepon, dia sempat Tanya alamat kontrakan yang kutempati sekarang. Dan dengan senang hati aku memberinya. ketika malam datang bersama kegelapan, wajah manisnya sering muncul dalam ingtanku. Tanpa kusadari tiba-tiba aku teringat saat memegang tangannya, wajahnya begitu nyata saat aku menariknya keluar. Suaranya seakan masih mengiang dalam gendang telingaku. Nurani ku berkata “Apa secepat ini aku jatuh cinta”.
            Malam mulai larut, aku semakin bingung, hatiku resah. Bayang-bayang wajahnya semakin liar mengisi pikiranku yang kosong. Akhirnya kuberanikan diri meneleponya, saat ku hubungi, nomornya sudah tak aktif. Aku hanya bisa berpikir untuk mencari strategi agar bisa dekat dengan Feni. Saat berpikir tiba-tiba aku teringat dengan Sheila, mungkin karena sikap mereka hampir sama. Hanya saja Feni lebih seksi, lebih cantik, dan sedikit manja. Tapi siapapun dia, tetap saja dia jauh, sekalipun telah membuat hatiku berantakan karena kasmaran.
            Hari senin siang aku mengikuti kuliah sastra di gedung C, tiba-tiba HP yang tersimpan di celana depanku kembali bergetar, saat ku buka, ada pesan singkat dari Diko,
 “Erik, Cpt kembali ke kontrkn. Km ada tamu”.
Aku pun membalasnya,” spa Dik? Aku msih di kls nih”.
“pokokx skrg jg km hrs pulg, klo g km akn menyesal”.
“ya, suruh tggu sbentar”, jawab ku
 Aku pun keluar untuk menemui tamu yang tak ku ketahui identitasnya. Dengan perasaan cemas aku melangkah menuju kontrakan. Pikiran-pikiran negatif bermunculan. “Kira-kira siapa orang yang mencariku sekarang”.
Sampai di depan kontrakan aku melihat Diko dan teman-temanku ngobrol dengan seorang perempuan. Aku tak melihat wajahnya. Aku langsung masuk seolah-olah tak ada orang. Saat ku buka sepatu, Tiba-tiba Diko berkata sambil menunjuk ke arahku, “Tuh Erik sudah datang” semuanya menoleh ke arahku. Aku kaget, hatiku seperti disambar petir, ternyata, perempuan yang ngobrol dengan Diko adalah Feni. Dengan sigap aku menyapanya. Tak lama kemudian, teman-temanku meninggaklkan kami berdua. Kami duduk berhadapan di ruang tamu, Sambil ngobrol aku menikmati wajah cantiknya, aku semakin tertarik dengan pesonanya. Saat Feni mulai asyik bercerita,  aku memotong pembicaraanya. Akupun bertanya, “Oh iya gimana kabar mantan mu Fen masih sering ganggu kamu”.
“Ya begitulah Er, Tapi hari ini aku tak mau membicarakan dia”
“Ok.” tegasku
“oh ya Erik, kamu masih sering clubbing ?”
“Kenapa..?, mau ngajak aku clubing yaaaaa? Heeee…”
“Nggak, Tanya aja kok?”
“Kamu sering ya ketempat itu” Tanya ku.
“Jujur itu pengalaman pertama Er, itu pun Karena dipaksa temen-temenku. kalauo kamu?”
“Itu kali ke lima aku kesana, tapi setelah kejadian semalam aku tak mau lagi”.
Obrolan kami semakin lama semakin dalam. Setiap kali dia bicara, diam-diam aku mentapnya, memandang setiap lekuk wajanya. Aku ingin sekali memilikinya. Beberapa saat kemudian aku tersentak dengan pertanyaan Feni.
“Erik, harus dengan cara apa ku tebus kesalahanku?”
“Serius kamu mau nebus kesalahan kamu?” tegasku
“iyaa, serius! aku siap ngelakuin apa aja, aku kan sudah membuatmu terluka”, ujarnya dengan suaranya yang lembut
“kamu ikhlas melakukan apa saja?”
“Ihklas buat kamu Erik”
“Oh yaa!,
“hemmmmm”, Feni tersenyum kepadaku
“Baiklah, untuk menebus semuanya kamu harus ke kontrakan setiap pagi, terus bangunkan aku setiap jam lima selama satu minggu. Ingat gak boleh telat!. Gimana?”
“Ok, sepakat”.
            Sejak hari itu aku benar-benar dekat dengan Feni. Rupanya strategiku untuk mendekati Feni Benar-benar efektif. Hari pertama, Feni memenuhi janjinya dan memberikan aku sebuah kejutan, pagi itu saat ku buka pintu kamar, aku melihatnya begitu beda, diah lebih anggun dari yang ku lihat sebelumnya. Dia hadir dengan mengenakan jilbab dan busana muslim. Wajahku terpaku pada keindahan mahluk tuhan itu. Rasanya Aku benar-benar telah jatuh cinta.
            Hari demi hari Feni melakukan hal yang sama, pada hari ke enam Feni masih membangunkan aku seperti biasa, bedanya, hari itu dia mengajakku main ke tempat kosnya. Setelah mandi kami pun berangkat. Feni mengajakku ke tempat yang sama sekali tidak asing. Tempat yang sering ku kunjungi sebelum mengenal Feni. Aku baru tahu kalau Feni satu kos dengan Sheila. Hal yang lebih mengejutkan adalah setelah aku tahu kalau mereka teman satu sekolah waktu SMA. Saat  itu aku berpikir, kalau  dunia ini begitu sempit. Muncul juga dalam pikiranku untuk mengungkapkan perasaanku pada Feni sesegera mungkin.  khawatir Sheila melakukan hal-hal yang tak ku inginkan.
            Malam itu otakku terus berputar, seirama dengan jarum jam yang berdetak konstan. jam dua belas malam baru bisa ku putuskan untuk nembak Feni besok pagi. Batinku pun ber bisik, “Ya, besok adalah hari terakhir dia membangunkan aku, hari yang paling tepat menumpahkan perasaanku yang selama ini tertahan dalam dada,”. Rasanya aku sudah tak sabar menunggu pagi.
            Jam Empat pagi, suara alarm berdering dari handphone ku. Aku bangun untuk berwudlu kemudian sholat subuh, setelah sholat aku duduk sambil merangkai kata, berharap bisa mengungkapkan semuanya dengan lancar. hari itu udara dingin sungguh tak lagi terasa, mungkin karena pengaruh hati dan perasaan yang tak menentu. Tapi tekad ku sudah bulat dan aku sudah siap untuk menentukan nasib cintaku.
Hari ini adalah hari terakhir dia membangunkan aku, dan sesuai kesepakatan  semesitnya dia membangunkan aku jam lima pagi. Tapi kali ini dia hadir lebih cepat. Jam setengah lima Fani mengetuk pintu kamarku. Saat ku buka, dia tak lagi tersenyum seperti hari-hari sebelumnya..
“Feni kamu kenapa, kok cemberut?”
“Gak papa Erik, mungkin setelah ini aku tak bisa bangunin kamu lagi, karena tugasku sudah selesai”, ujarnya dengan wajah innosen
Aku tersenyum mendengar perkataan Feni. Setelah itu aku menarik tangannya dan memintanya masuk agar bisa ngobrol lebih leluasa.
Sambil menatapnya aku berkata, “Feni, selama tujuh hari kamu sudah melakukan apa yang sudah kita sepakati, dan sekarang tugas kamu selesai, kita impas”.
“Erik, pernahkah kamu berpikir, kenapa aku mau melakukan semua ini?”
“Aku tak tahu, semuanya berjalan begitu saja” jawabku.sambil menunddukkan kepala
“Er, apa hari ini kamu hanya ingin mengatakan itu?”
Aku menghela nafas panjang dan mencoba menenangkan hati,
 sesaat kemudian Feni kembali berkata, “Erik! Bicaralah!”
“Baiklah, Mungkin sudah saatnya kamu tahu. Jujur , selama tujuh hari aku merasa hidupku begitu sempurna, dan kalau hari ini aku sedih, itu karena aku takut kehilangan kamu”
Tiba-tiba Dia menggenggam tanganku sembari berkata, “Erik, maksud kamu apa?”
“Aku ingin miliki kamu Feni, agar kamu bisa bangunkan aku setiap waktu, bukan hanya tujuh hari”.
Mendengar pernyataanku dia meneteskan air matanya, dia diam tak bicara, aku bingung, aku tak mengerti dengan sikapnya .Hatiku mencoba untuk berspekulasi, karena urusan hati tak bisa ditunda-tunda, dan akupun berkata,
 “Feni, Aku memang  tak tahu makna dari setiap tetes air matamu, tapi hari ini aku ingin kamu tahu kalau aku sayang kamu!”
Feni tiba-tiba menatapku tajam, matanya seolah ingin bicara. dengan senyum tipis bercampur tangis dia memelukku dengan erat dan berkata, “Erik aku juga sayang kamu,”. Aku menjawab, “Aku Janji, akan selalu menjagamu Feni, yakinlah”. Feni hanya mengangguk dipundak ku. Kami pun menunggu matahari pagi seolah ingin menjadikan sang mentari sebagai saksi, bahwa hati kami sudah saling memiliki.
            Pagi itu aku undang teman-temanku, kurayakan hari yang menggembirakan itu dengan makan siang di kantin kampus. Sambil menunggu makanan disajikan, aku bangkit dari kursi lalu mengucapkan sebuah janji dihadapan mereka, aku mengngkat tangan setinggi kepala, persis serperti pelantikan anggota dewan.
“Kawan-kawanku semuanya, di hari yang cerah ini aku berjanji, dan kalian adalah saksinya, aku berjanji kalau aku sudah wisuada nanti, aku akan melamar wanita yang duduk disebelahku. Heeeeee…...”
Serentak teman-temanku berkata “Lebaaaaaaaaaay”. Dan semuanya tertawa lepas.
Sejak saat itu aku dan Feni berkomitmen untuk berhenti clubbing. Akhirnya, kami  menjalani hari-hari dengan kesedrhanaan. Tak perlu hura-hura, apalagi foya-foya menghabiskan harta orang tua. kami benar-benar mengerti bahwa kebahagiaan adalah urusan hati, sedangkan ukurannya adalah keikhlasan serta rasa syukur yang mendalam.
            Indahnya hari-hari yang kami lalui membuatku lupa kalau usia hubungan kami hampir satu tahun. Perasaanku pada Feni tak ada yang berubah, begitu juga sebaliknya. untuk merayakan satu tahun hubungan kami, aku telah menyusun rencana untuk mengadakan pesta kecil di pinggir pantai. Alasannya karena Pantai adalah tempat faorit kami, hampir setiap libur kuliah aku dan Feni menyempatkan untuk menikmati suasana di tepi pantai.
            Dua hari sebelumnya, aku mencoba menghubungi semua temanku untuk ikut dalam acara tersebut. Dan mereka pun siap. Banyak hal yang harus kupersiapkan, sehingga rencana itu banyak menyita waktuku.  Sekalipun agak sibuk aku tak pernah meninggalkan kuliahku, karena kami berkomitmen untuk menjadi lulusan terbaik. Sebelum masuk kelas, ku antarkan Feni ke kampusnya, karena kampus kami begitu dekat. Sampai di depan kampus, feni menatapku dengan raut wajah yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Sebelum masuk gerbang Feni berkata padaku,
“Erik, nanti aku mau pulang duluan, kamu gak usah jemput aku ya”.
“Okey tuan putri”jawabku.
“Erik jaga diri baik baik ya”
“So pastiiii, demi kamu” ujarku sambil bercanda.
Feni hanya mengguk kemudian masuk gerbang, hari ini aku merasa ada yang beda,  sebelum masuk kelas biasanya dia menoleh ke arah ku dan memberikan senyum termanisnya. Tapi kali ini dia langsung masuk kelas, seolah aku tidak ada. Saat itu  aku mencoba menganggapnya biasa.
Jam duabelas siang aku masih sibuk mencari referensi di perpustakaan pusat. Tiba-tiba HP ku berdering.
“Haloo, Erik”
“Ya Dik, Da apa?”
“Feni kecelakaan”
“Diko kamu jangan bercanda!”
“Aku serius Er, sekarang kamu cepat  ke RSUD!"
“Kondisinya gimana Dik”
“Aku juga belum tahu, cepat Er!”
Aku menutup hand phone dan langsung meneuju rumah sakit.
Sampai disana semua keluarga Feni menunggu di depan UGD, mereka tampak shok. Aku pun mendekati Ayah Feni dan bertanya,
“Bapak, gimana kondisi Feni sekarang?”
“Aku belum tahu  nak, Dokter belum memberi tahu kondisinya”,
Hatiku semakin kacau, aku benar-benar cemas dengan kondisi Feni. Dalam doaku hanya ada satu permintaan, “Tuhan selamatkan dia,”. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang unit gawat darurat. Aku dan semua kelurga Feni menghampirinya.
“Bagaimana kondisi anak kami Dok?” Tanya bapak dengan suara tepatah-patah.
“Kondisinya memang parah, tapi dia sudah melewati masa kritisnya”
Semuanya mengucapakan “Alhamdulilah” dan akupun sedikit lega. Beberapa jam kemudian Feni dipindahkan ke ruang lain. Aku, bapak, dan ibu menemaninya sepanjang malam. Dalam hening dan sepi aku menatap wajahnya, saat melihatnya aku teringat saat dia tersenyum dan tertawa lepas. Tak terasa air mataku menetes membahasi tanganku yang pucat. “Oh tuhaan aku tak sanggup melihat semua ini”.
Pada saat yang sama, ibu pun tak kuasa menahan tangisnya. 
Jam setengah empat pagi kondisi Feni semakin lemah, mungkin dia drop. Aku berlari memanggil dokter agar segera dilakukan tindakan medis. Dalam hitungan menit Feni di bawa dokter ke dalam ruangan. Tampaknya hal yang serius terjadi sama Feni. Kami bertiga menunggu dengan sepenuh doa. Berharap dia bisa melewati masa kritisnya. Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan itu dan menemui kami.
Sambil menangis ibu bertanya, “Bagaimana Feni Dokter”
“Bapak , Ibu, kami mohon maaf! Kami sudah berusaha semaksimal mungkin”
“Maksud dokter apa?” Tanya ku
“Feni tidak bisa kami selamatkan”
Tiba-tiba ibu menjerit, seperti tak percaya kalau Feni sudah meninggal.
Saat itu badanku seperti lemas tak bertdaya, aku menghela nafas panjang dan menutup mata. Kusandarkan tubuhku ke dinding, aku terdiam, aku tak percaya di pergi secepat itu,. Malam itu aku seperti mati rasa. Aku tenggelam dalam duka mendalam.
            Hari berikutnya aku mencoba untuk menerima kenyataan, tapi semua peristiwa yang pernah  ku jalani dengan Feni seperti di putar ulang. Bayangannya muncul begitu saja. Aku merasa dunia sudah tak punya arti, aku hidup dalam keputus asaan.
Hari kedua setelah kepergian Feni, aku mulai tegar, aku bisa mengikhlaskan dia, hari itu aku meminta Diko untuk mengantarku kepusara terakhirnya. Di sana mataku tertuju  pada batu nisan yang menjadi symbol kepergiannya. Di depan makam Aku bicara, “Feni, jasadmu memang tertanam di tanah ini, tapi aroma tubuhmu masih terasa, masih sama seperti saat-saat kita bersama”. Aku terus bergumam, “Feni, semoga kamu mendapatkan yang terbaik disana, aku merindukanmu, aku inginkan kamu”.
Melihat tingkahku yang tak terkendali, tiba-tiba Diko mencoba mengangkat tubuhku, dia memapahku kemudian mengajakku untuk pulang. Sampai dikontrakan, aku teringat dengan peristiwa yang menjadikan kami lebih dekat. Dulu setiap jam lima pagi Feni membangunkan aku, bahkan pada jam yang sama aku dan Feni menyatukan hati, dan ternyata Feni juga meninggalkan aku jam lima pagi untuk selamanya. Aku pun kembali teringat dengan perkataan Feni dua hari yang lalu saat mengantarnya kuliah, dia mengatakan bahwa dia ingin pulang duluan. Dan aku menanggapinya tak serius. Aku baru menyadari kalau perkataan Feni adalah pesan terakhirnya. dengan hati yang kalut, kucoba tuliskan sepenggal kisah tentang dia, tapi hari itu tak menhasilkan apa-apa kecuali beberapa baris puisi,

Selamat Tinggal Cinta
Kemarau telah merenggut tubuhmu dalam debu
dan aku melepasmu dalam udara kepedihan

semesta  terdiam
Hanya aroma bunga dan tanah basah  mencoba untuk bercerita
Bahwa cinta butuh lelah

Cintaku tak se kekal yang ku duga
Seperti kamu yang pergi untuk tak kembali
Selamanya
            Satu minggu kemudian aku mendapat kabar, bahkan informasinya langsung dari pihak kepolisian. mereka mengatakan bahwa apa yang di alami Feni bukan kecelakaan biasa, melainkan dia sengajak ditabrak. Setelah ku Tanya lebih lanjut. Polisi mengungkapkan bahwa pelakunya adalah Reihan. Dia adalah mantan pacar Feni, yang pernah mengeroyokku di hugos` café satu tahun yang lalu. polisi juga menuturkan kalau dalang dari pembunuhan itu adalah Sheila. Aku terkejut. Apa alasan mereka sehingga begitu tega melakukan itu pada Feni. Aku semakin merasa bersalah, karena tidak bisa menjaganya seperti yang telah kujanjikan.
            Dalam persidangan mereka terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan rencana pembunuhan bersama-sama. Mereka divonis 20 tahun penjara. Aku merasa tidak puas dengan vonis hakim. Seharusnya mereka dihukum mati atau di penjara seumur hidup
Setelah aku tahu semuanya, rasa dendam semakin berkobar dalam dadaku, darahku seakan mendidih, bergejolak seiring kepedihan yang menyayatku setiap waktu. aku ingin membalas kekejian mereka, tapi tuhan mengingatkan aku lewat ayat-ayatnya. dan aku hanya bisa pasrah. Tak ada yang bisa ku lakukan  kecuali menyerahkan semuanya kepada yang berwajib. selanjutnya biarlah tuhan yang mengadili mereka karena telah merampas separuh jiwaku untuk selamanya.
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar