Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 November 2010

Penggalan novel Heroe Asmara

PELANGI CINTA DI KAMPUS HIJAU
 
Kisah ini tergurat di atas kebenaran dan ketidak sempurnaan cinta. Kisah sederhana tentang keterbatasan  anak manusia dalam mendefinisikan makna  cinta yang terurai dalam paradigma-paradigma tanpa batas. Ini semua adalah tentang aku dalam sepenggal wakutku. Juga Untuk dia dan kamu!!

Sore itu senja merentangkan sayapnya di kota kecil yang hijau. Tiba-tiba awan hitam bergelayut menutupi langit sore. Awan pun retak sembari menumpahkan gerimis tipis di kota kecil itu. Dari dalam angkot, ku reguk segarnya aroma tanah bercampur debu. Aku takjub, Mataku dimanjakan oleh Pohon-pohon tua yang kokoh menjulang disepanjang jalan.. Di kota kecil inilah kutumpahkan segenap asaku. Aku datang, aku melihat, dan aku menyatu dalam dimensi sosial yang begitu asing. Sore itu aku sampai di kota Bunga, Tampak dari kejauhan pucuk-pucuk daun dan hamparan rumput hijau menghiasai halaman kampus. Semua seolah menyapaku dengan pesonanya. aku semakin yakin, bahwa ini adalah masa-masa yang menentukan. Sebuah babak baru dalam perjalanan hidupku yang penuh kisah dan takkan habis di kaji sejarah.
Senin pagi di bulan Agustus. orientasi pengenalan kampus dimulai. Wajah-wajah asing para mahasiswa kembali memanjakan mataku, ada yang memberi senyum, ada juga yang menyimpan wajah misteriusnya di balik jilbab dan tatapan beku.  Di kelas kecil ukuran tujuh kali sembilan, tiba-tiba seorang gadis manis menyapaku, “Hai..! kamu anak mana?” spontan aku menjawab “Probolinggo”, gadis itu terkejut! Komunikasi pun berlanjut tanpa peduli dengan agenda OSPEK. Di luar dugaan, ternyata gadis manis itu berasal dari daerah yang sama! Namanya adalah Tia,  Sejak hari itu kami menjadi lebih dekat, dan kebersamaan benar-benar terjalin atas nama persahabatan.
Hari terus berganti, kegiatan kuliah berjalan tanpa hambatan. Hati dan pikiran  terasa bebas dan lepas untuk menunjukkan eksistensiku sebagi seorang mahasiswa. Apalagi aku mengambil jurusan sastra yang menuntut kreativitas dan aktualisasi diri.  Senangya bila setiap hari tiada masalah dan beban dalam kepala. Hanya materi kuliah yang dijejalkan dalam otakku. Dengan kata lain semuanya berjalan dengan normal.
Hari ini benar-benar dingin, suhu udara dalam kamar terasa kurang dari 16 derajat celcius, dinginnya udara membuatku enggan untuk bangun. Tiba-tiba ada suara perempuan memanggilku sembari mengetuk pintu kamar. Aku tersentak, aku bangkit dari tidur ku sambil melepas selimut. Saat ku buka pintu, tiba-tiba wajah manis sudah menunggu dibalik pintu, suasana dingin berubah menjadi hangat ketika dia datang. Aku tak percaya, dia seperti matahari pagi yang membakar dingin dengan senyumnya. Setelah aku asyik menikmati wajahnya, kemudian tia berkata “Er ayo cepet mandi, udah siang nih! Kamu gak mau kuliah?,” mendengar suaranya aku langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Dalam hitungan menit semuanya beres dan kami pun berangkat.
Ketika perkuliahan usai, Tia tampak sibuk ngobrol dengan temannya. Aku jadi enggan untuk mengajaknya pulang. Tiba-tiba dari belakang  sheila memanggilku, dia adalah perempuan yang cukup care dan seringkali memberikan perhatian lebih setiap kali bertemu. Aku sedikit tergoda dengan sikap manjanya. Wajar saja, dia adalah cewek paling modis di kelas sastra. “Er pulang bareng yuk”, tegasnya sambil menggandeng tanganku! Aku diam kemudian ikut seperti tak punya pendirian. Setelah tiga langkah ku sempatkan menoleh ke belakang. Kulihat Tia meneteskan air matanya, dia mendahului ku dan keluar kelas dengan wajah  penuh duka. Seolah-olah tak rela melihat Sheila menggandeng tanganku. Entahlah? mungkin dia cemburu, mungkin juga persahabatan kami terlalu dalam hingga dia tak rela sahabatnya jalan dengan wanita lain. Hatiku terus bertanya, ada apa dengan Tia?.
Hari berikutnya di sudut gedung F Tia terlihat murung, seolah-olah awan hitam menghalangi senyum dari bibirnya. Mungkin dia masih terbawa peristiwa kemarin. Melihatnya aku jadi tak tega, Aku mencoba mendekatinya sambil mengajaknya ngobrol. “Tia kamu kenapa?”. Dengan suara agak serak tia menjawab, “Aku gak papa Er, trimakasih kamu udah peduli, tapi hari ini aku masih ingin sendiri”. “Baiklah kalo gitu, setelah ini, aku harap kamu mau menceritakan semuanya”, jawabku sambil meninggalkan ia sendiri. Sementara Tia terdiam dengan maksud yang tak ku mengerti, Hari itu aku melihat Sheila tampak cantik dengan busana serba minim. Pampilannya mencuri perhatianku. Pikiranku seperti teracuni oleh keindahan tubuhnya, aku pun lupa dengan kondisi Tia sahabatku.
Saat dosen mengakhiri perkuliahan,  Sheila menatapku sambil mengankat tangannya”hai Eeeer!. Aku membalasnya dengan lambaian tangan. Beberapa saat kemudian sheila kembali menghampiriku dan menggandeng tanganku, sikapnya seperti ingin mengulang peristiwa kemarin. Aku pun menuruti kemauannya. Dari ruang kelas kami melangkah meninggalkan gedung termegah di Kampus hijau. langkah kakiku terasa ringan, sedangkan jantung berdebar dengan hebatnya. Aku tak percaya hari itu Sheila berani menggandeng tanganku sampai ke kamar kos yang lembab dan dingin. Di kamar kecil ukuran tiga kali empat itu hanya ada aku dan dia. jantungku berdebar kencang saat melihat Sheila mengunci pintu, setiap detik semakin kencang seperti hentakan kuda yang dipacu dengan cepat. Kemudian dia menangis dihadapanku sembari berkata, “Er beri aku kesempatan, aku sayang sama kamu. Masak selama ini kamu gak ngerti itu”?. Melihat dia menagis aku menyandarkan diri pada dinding kamar. Berharap bisa tegar menghadapi Sheila. Sesaat setelah aku bersandar Sheila memegang tanganku sambil menangis. Ia pun memelukku dengan erat. Akupun mendekapnya. “Ya Tuhan dosakah aku”, nuraniku berkata. Koflik batin berkecamuk dalam dada. Wanita yang baru ku kenal beberapa pekan yang lalu seolah menyerahkan dirinya. Akhirnya pikiran liar itu tumbuh dan membunuh nuraniku. Aku tenggelam dalam pikiran sesat. Hari itu aku melakukan yang tak seharusnya aku lakukan. Penyesalan itu berakhir dalam baris-baris puisi yang tergores pada catatan kecilku,.

Air Mata Dosa
Dilantai itu setetes mutiara wakili luka
Kusaksikan dengan segala kesangsian nalarku
betapa benar
Mutiara itu adalah tumpahan air mata.
Sayang
Air matamu adalah badaiku
Badaiku badaimu tumpah dalam kepedihan yang sama
Dan kita telah tenggelamkan dunia


Aku Kembali


Dingin sulami tubuhku dalam kabut tak terbendung
Memasung segenap gairah nafas dalam ronta jiwa paling liar

Aku bosan…!

Aku kembali untuk membasuh sajadah dengan air mata
Mungkin aku telah berdosa

Tragedi 1 Januari
Satu minggu setelah libur UTS aku kembali ke kota Bunga. Di sisi jalan aku melihat Sheila dibonceng seorang pria dengan motor sport. Mereka tampak intim. Sheila pun melihatku dengan wajah terperangah. kali ini Hatiku seperti terbakar, bahkan gerimis pun tak sanggup memadamkan amarah bercampur dendam. Ternyata aku kembali dengan kado istimewa. Tanggal 31 Desember sore di kos 368, terdengar suara perempuan memanggil-manggil sambil menggedor pintu. Saat ku buka, sheila suda berdiri di depan pintu. dia datang dengan raut wajah penuh sesal. Sheila  kembali menumpahkan air matanya di tempat yang sama. tapi aku tak lagi percaya dengan dia. Aku tak ingin melakukan apapun kecuali membencinya. Tapi dalam hitugan menit semuanya berubah. Kondisi kamar yang dingin dan lembab membuat pikiranku berkata lain, di dada memang tak ada cinta, hanya hasrat manusiawi menguasai diri. Akhirnya bibirku melontarkan pemberian maaf,  kemudian bercumbu mesra sekalipun tidak dengan cinta.
Setelah adzan magrib berkumandang, Sheila pun beranjak dari kamarku. sembari berkata. “Er nanti malem kamu ada waktu kan?”, aku menjawab “Tentu”. “Kalo gitu kamu mau kan nemani aku menghabiskan malam ini, mau ya Er?” dia merajuk seolah memaksa. Tanpa berpikir kemudian aku mengangguk dan memenuhi permintaan Sheila. Setelah sholat isya kamipun berangkat.
Malam terakhir di bulan Desember memang selalu indah. Malam yang di tunggu oleh jutaan orang di seluruh dunia. Begitu juga dengan kami yang tenggelam dalam badai asmara. kali ini Aku dan sheila memilih pantai untuk menyambut malam pergantian tahun. Malam itu kami menikmati indanya taburan bintang di langit hitam. lembutnya pasir putih dan debur ombak menjadi instrument saat kami ngobro-ngorol kecil di bibir pantai. Suasana semakin dramatis  saat pancaran kembang api di sudut dermaga menghiasi langit malam. Semuaya berbahagia, terdengar sorak sorai dan suara terompet bersahutan  seolah sudah tak sabar menanti pergantian tahun. Begitulah malam itu berlalu begitu saja. Tak ada kata selain hasrat untuk berbagi cinta.  seketika suasana pun hening. Jam satu malam kami meninggalkan pantai pasir putih, berharap dapat hotel untuk tempat beristirahat. Tapi malam itu semua hotel di sekitar pantai sudah penuh. Kami putuskan mencari hotel ditempat yang agak jauh, kami terus mencari, hingga sampai dikota Proling. Dari kaca mobil terlihat papan nama bertuliskan Hotel Srikandi. Tidak ada pilihan lain, kami pun bermalam di hotel itu.
Satu januari di hotel srikandi, perasaanku memuncak. aku merasa lelah dengan status hubungan yang tak punya arah. mungkin Sudah terlalu lama sheila mengisi hari-hariku dengan kisah-kisah rumit. seketikat aku sadar, aku mencoba menegaskan perasaan liarku  yang selama ini lebih mendewakan hasrat.  Pagi itu sengaja ku temani sheila di kamar hotel. Setelah suasana hening, tanpa basa-basi ku ungkapkan semuanya pada sheila, berharap perasaanku akan dibalas dengan perasaan yang sama. dan tuhan pun menentukan takdirnya. Hari itu menjadi akhir dari rumitnya kisah asmaraku dengan sheila. Dan kami pun mengambil jalan hidup masing-masing.
Sejak peristiwa itu, aku mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan Sheila. Hatiku seolah sedang melewati fase kesepiannya. Seperti kupu-kupu kecil yang baru keluar dari kepompongnya, kemudian terbang mencari sesuatu yang tak pernah ia tahu.  Ketika hatiku terasa kosong, beberapa temanku mencoba menghiburku dengan mengajakku ke tempat-tempat hiburan malam. Setelah beberapa kali kesana, akhirnya aku terjebak dalam dunia malam yang yang menawarkan sejuta kenikmatan.
Malam senin, dibulan November, aku dan kawan-kawan berencana menghabiskan malam di hugo`s café. Tepat jam sepuluh malam kami ber lima berangkat dengan busana anak dugem. Perjalanan kami ditemani alunan musik dari sound mobil yang memekakkan telinga. Mobl terus melaju kencang dan kami pun siap menikmati malam tanpa beban.
Tak lama kemudia mobil berputar arah dan berhenti.
“Ayo turun, Udah nyampek nih”, ucapnya sambil menutup kaca mobil.
Akupun keluar bersama teman-teman yang lain. Dari depan café sudah terdengar sayup-sayup suara musik. Kami pun masuk dan menikmati indahnya dunia gemerlap. Malam itu ruang cafe sangta sesak. Asap rokok begitu tebal , kepulannya membuat mataku perih. Pantaslah, karena aku bukan perokok dan baru akrab dengan dunia malam. Saat ku pegang kedua mataku, tiba-tiba seorang gadis menabrakku. Rupanya di sedang ada masalah dengan beberapa  pria berbadan tinggi.
Sambil memegang tanganku dia berkata, “Mas tolongin aku!”
Aku menjawabnya dengan suara lantang, “Tolongin apaan?’
“Bawa aku keluar mas”, tegasnya seperti berbisik!
“Ngapain keluar?”
“Udahlah nanti kuceritakan di luar”
Tiba tiba Aku melihat tiga pria menuju ke arah kami, wajahnya tidak jelas karena lampu diskotik perpancara di seluruh ruangan. Akhirnya ku putuskan untuk menolongnya. Aku menarik tangannya dan membawanya keluar.
“Sekarang kamu ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi”
“Salah satu dari tiga pria tadi itu mantan pacarku mas”
“Terus kenapa kamu seperti ketakutan”
“Entahlah, aku  takut, dia selalu mengikutiku, oya terima kasih ya.”
“sama-sama” jawabku.
Ketika aku ingin masuk, dia kembali menarik tanganku. Dan  bertanya, “Oh ya nama kamu siapa?”.
“Aku Erik!, kamu?”
“Aku Feni, Erik boleh minta nomor HP km?”
Akupun memberinya dan masuk ke dalam.cafe.
Di dalam anak-anak terlihat asyik ngobrol di sudut ruangan, seperti biasa mereka ditemani beberapa gadis dan botol minuman yang tertata rapi di atas meja. Aku tidak bergabung dengan mereka, aku lebih suka menikmati hentakan musik sambil menggerakkan seluruh tubuhku. Tiba tiba seseorang memegang kedua bahuku dari belakang, salah satu dari mereka memegang bajuku dari depan, aku berontak mencoba lepas dari kepungan mereka, tak terasa satu pukulan mendarat pada kepla bagian samping, aku pun membalasnya. Dalam hitungan detik suasan berubah ricuh, aku mendapatkan bogem mentah dari berbagai arah. Akhirnya kami diamankan oleh petugas keamanan dan membawaku ke pos satpam. Setelah lama bernegosiasi akhirnya kami di izinkan pulang. di dalam mobil badanku terasa sakit semua. Akupun tidur di dalam mobil dengan posisi tak ideal.
Sore hari hujan lebat tak kunjung reda, udara dalam ruangan terasa semakin dingin. Tiba-tiba HP ku berdering, saat ku angkat tiba-tiba suara perempuan menyapaku, Hellooow “
“ya, Helloo ini siapa?’ Tanya ku sambil menggigil.
“Masak lupa, ini aku!”
aku berpikir sejenak…”Oowwww  ini pasti Feni!”
“Iyaaaaaa!”
“Ada apa Feni?”,
“Erik, Aku mohon maaf ya, gara-gara aku kamu jadi berantem dengan  mereka”
“Sudahlah gak apa-apa, kamu tahu dari siapa aku berantem?”
“Temanku yang bilang, mereka pikir kamu pacar ku, jadi mereka marah sama kamu”.
“Sudah lupakan aja” ujar ku
Sore itu kami ngobrol lama, sebelum ku tutup telepon, dia sempat Tanya alamat kontrakan yang kutempati sekarang. Dan dengan senang hati aku memberinya. ketika malam datang bersama kegelapan, wajah manisnya sering muncul dalam ingtanku. Tanpa kusadari tiba-tiba aku teringat saat memegang tangannya, wajahnya begitu nyata saat aku menariknya keluar. Suaranya seakan masih mengiang dalam gendang telingaku. Nurani ku berkata “Apa secepat ini aku jatuh cinta”.
            Malam mulai larut, aku semakin bingung, hatiku resah. Bayang-bayang wajahnya semakin liar mengisi pikiranku yang kosong. Akhirnya kuberanikan diri meneleponya, saat ku hubungi, nomornya sudah tak aktif. Aku hanya bisa berpikir untuk mencari strategi agar bisa dekat dengan Feni. Saat berpikir tiba-tiba aku teringat dengan Sheila, mungkin karena sikap mereka hampir sama. Hanya saja Feni lebih seksi, lebih cantik, dan sedikit manja. Tapi siapapun dia, tetap saja dia jauh, sekalipun telah membuat hatiku berantakan karena kasmaran.
            Hari senin siang aku mengikuti kuliah sastra di gedung C, tiba-tiba HP yang tersimpan di celana depanku kembali bergetar, saat ku buka, ada pesan singkat dari Diko,
 “Erik, Cpt kembali ke kontrkn. Km ada tamu”.
Aku pun membalasnya,” spa Dik? Aku msih di kls nih”.
“pokokx skrg jg km hrs pulg, klo g km akn menyesal”.
“ya, suruh tggu sbentar”, jawab ku
 Aku pun keluar untuk menemui tamu yang tak ku ketahui identitasnya. Dengan perasaan cemas aku melangkah menuju kontrakan. Pikiran-pikiran negatif bermunculan. “Kira-kira siapa orang yang mencariku sekarang”.
Sampai di depan kontrakan aku melihat Diko dan teman-temanku ngobrol dengan seorang perempuan. Aku tak melihat wajahnya. Aku langsung masuk seolah-olah tak ada orang. Saat ku buka sepatu, Tiba-tiba Diko berkata sambil menunjuk ke arahku, “Tuh Erik sudah datang” semuanya menoleh ke arahku. Aku kaget, hatiku seperti disambar petir, ternyata, perempuan yang ngobrol dengan Diko adalah Feni. Dengan sigap aku menyapanya. Tak lama kemudian, teman-temanku meninggaklkan kami berdua. Kami duduk berhadapan di ruang tamu, Sambil ngobrol aku menikmati wajah cantiknya, aku semakin tertarik dengan pesonanya. Saat Feni mulai asyik bercerita,  aku memotong pembicaraanya. Akupun bertanya, “Oh iya gimana kabar mantan mu Fen masih sering ganggu kamu”.
“Ya begitulah Er, Tapi hari ini aku tak mau membicarakan dia”
“Ok.” tegasku
“oh ya Erik, kamu masih sering clubbing ?”
“Kenapa..?, mau ngajak aku clubing yaaaaa? Heeee…”
“Nggak, Tanya aja kok?”
“Kamu sering ya ketempat itu” Tanya ku.
“Jujur itu pengalaman pertama Er, itu pun Karena dipaksa temen-temenku. kalauo kamu?”
“Itu kali ke lima aku kesana, tapi setelah kejadian semalam aku tak mau lagi”.
Obrolan kami semakin lama semakin dalam. Setiap kali dia bicara, diam-diam aku mentapnya, memandang setiap lekuk wajanya. Aku ingin sekali memilikinya. Beberapa saat kemudian aku tersentak dengan pertanyaan Feni.
“Erik, harus dengan cara apa ku tebus kesalahanku?”
“Serius kamu mau nebus kesalahan kamu?” tegasku
“iyaa, serius! aku siap ngelakuin apa aja, aku kan sudah membuatmu terluka”, ujarnya dengan suaranya yang lembut
“kamu ikhlas melakukan apa saja?”
“Ihklas buat kamu Erik”
“Oh yaa!,
“hemmmmm”, Feni tersenyum kepadaku
“Baiklah, untuk menebus semuanya kamu harus ke kontrakan setiap pagi, terus bangunkan aku setiap jam lima selama satu minggu. Ingat gak boleh telat!. Gimana?”
“Ok, sepakat”.
            Sejak hari itu aku benar-benar dekat dengan Feni. Rupanya strategiku untuk mendekati Feni Benar-benar efektif. Hari pertama, Feni memenuhi janjinya dan memberikan aku sebuah kejutan, pagi itu saat ku buka pintu kamar, aku melihatnya begitu beda, diah lebih anggun dari yang ku lihat sebelumnya. Dia hadir dengan mengenakan jilbab dan busana muslim. Wajahku terpaku pada keindahan mahluk tuhan itu. Rasanya Aku benar-benar telah jatuh cinta.
            Hari demi hari Feni melakukan hal yang sama, pada hari ke enam Feni masih membangunkan aku seperti biasa, bedanya, hari itu dia mengajakku main ke tempat kosnya. Setelah mandi kami pun berangkat. Feni mengajakku ke tempat yang sama sekali tidak asing. Tempat yang sering ku kunjungi sebelum mengenal Feni. Aku baru tahu kalau Feni satu kos dengan Sheila. Hal yang lebih mengejutkan adalah setelah aku tahu kalau mereka teman satu sekolah waktu SMA. Saat  itu aku berpikir, kalau  dunia ini begitu sempit. Muncul juga dalam pikiranku untuk mengungkapkan perasaanku pada Feni sesegera mungkin.  khawatir Sheila melakukan hal-hal yang tak ku inginkan.
            Malam itu otakku terus berputar, seirama dengan jarum jam yang berdetak konstan. jam dua belas malam baru bisa ku putuskan untuk nembak Feni besok pagi. Batinku pun ber bisik, “Ya, besok adalah hari terakhir dia membangunkan aku, hari yang paling tepat menumpahkan perasaanku yang selama ini tertahan dalam dada,”. Rasanya aku sudah tak sabar menunggu pagi.
            Jam Empat pagi, suara alarm berdering dari handphone ku. Aku bangun untuk berwudlu kemudian sholat subuh, setelah sholat aku duduk sambil merangkai kata, berharap bisa mengungkapkan semuanya dengan lancar. hari itu udara dingin sungguh tak lagi terasa, mungkin karena pengaruh hati dan perasaan yang tak menentu. Tapi tekad ku sudah bulat dan aku sudah siap untuk menentukan nasib cintaku.
Hari ini adalah hari terakhir dia membangunkan aku, dan sesuai kesepakatan  semesitnya dia membangunkan aku jam lima pagi. Tapi kali ini dia hadir lebih cepat. Jam setengah lima Fani mengetuk pintu kamarku. Saat ku buka, dia tak lagi tersenyum seperti hari-hari sebelumnya..
“Feni kamu kenapa, kok cemberut?”
“Gak papa Erik, mungkin setelah ini aku tak bisa bangunin kamu lagi, karena tugasku sudah selesai”, ujarnya dengan wajah innosen
Aku tersenyum mendengar perkataan Feni. Setelah itu aku menarik tangannya dan memintanya masuk agar bisa ngobrol lebih leluasa.
Sambil menatapnya aku berkata, “Feni, selama tujuh hari kamu sudah melakukan apa yang sudah kita sepakati, dan sekarang tugas kamu selesai, kita impas”.
“Erik, pernahkah kamu berpikir, kenapa aku mau melakukan semua ini?”
“Aku tak tahu, semuanya berjalan begitu saja” jawabku.sambil menunddukkan kepala
“Er, apa hari ini kamu hanya ingin mengatakan itu?”
Aku menghela nafas panjang dan mencoba menenangkan hati,
 sesaat kemudian Feni kembali berkata, “Erik! Bicaralah!”
“Baiklah, Mungkin sudah saatnya kamu tahu. Jujur , selama tujuh hari aku merasa hidupku begitu sempurna, dan kalau hari ini aku sedih, itu karena aku takut kehilangan kamu”
Tiba-tiba Dia menggenggam tanganku sembari berkata, “Erik, maksud kamu apa?”
“Aku ingin miliki kamu Feni, agar kamu bisa bangunkan aku setiap waktu, bukan hanya tujuh hari”.
Mendengar pernyataanku dia meneteskan air matanya, dia diam tak bicara, aku bingung, aku tak mengerti dengan sikapnya .Hatiku mencoba untuk berspekulasi, karena urusan hati tak bisa ditunda-tunda, dan akupun berkata,
 “Feni, Aku memang  tak tahu makna dari setiap tetes air matamu, tapi hari ini aku ingin kamu tahu kalau aku sayang kamu!”
Feni tiba-tiba menatapku tajam, matanya seolah ingin bicara. dengan senyum tipis bercampur tangis dia memelukku dengan erat dan berkata, “Erik aku juga sayang kamu,”. Aku menjawab, “Aku Janji, akan selalu menjagamu Feni, yakinlah”. Feni hanya mengangguk dipundak ku. Kami pun menunggu matahari pagi seolah ingin menjadikan sang mentari sebagai saksi, bahwa hati kami sudah saling memiliki.
            Pagi itu aku undang teman-temanku, kurayakan hari yang menggembirakan itu dengan makan siang di kantin kampus. Sambil menunggu makanan disajikan, aku bangkit dari kursi lalu mengucapkan sebuah janji dihadapan mereka, aku mengngkat tangan setinggi kepala, persis serperti pelantikan anggota dewan.
“Kawan-kawanku semuanya, di hari yang cerah ini aku berjanji, dan kalian adalah saksinya, aku berjanji kalau aku sudah wisuada nanti, aku akan melamar wanita yang duduk disebelahku. Heeeeee…...”
Serentak teman-temanku berkata “Lebaaaaaaaaaay”. Dan semuanya tertawa lepas.
Sejak saat itu aku dan Feni berkomitmen untuk berhenti clubbing. Akhirnya, kami  menjalani hari-hari dengan kesedrhanaan. Tak perlu hura-hura, apalagi foya-foya menghabiskan harta orang tua. kami benar-benar mengerti bahwa kebahagiaan adalah urusan hati, sedangkan ukurannya adalah keikhlasan serta rasa syukur yang mendalam.
            Indahnya hari-hari yang kami lalui membuatku lupa kalau usia hubungan kami hampir satu tahun. Perasaanku pada Feni tak ada yang berubah, begitu juga sebaliknya. untuk merayakan satu tahun hubungan kami, aku telah menyusun rencana untuk mengadakan pesta kecil di pinggir pantai. Alasannya karena Pantai adalah tempat faorit kami, hampir setiap libur kuliah aku dan Feni menyempatkan untuk menikmati suasana di tepi pantai.
            Dua hari sebelumnya, aku mencoba menghubungi semua temanku untuk ikut dalam acara tersebut. Dan mereka pun siap. Banyak hal yang harus kupersiapkan, sehingga rencana itu banyak menyita waktuku.  Sekalipun agak sibuk aku tak pernah meninggalkan kuliahku, karena kami berkomitmen untuk menjadi lulusan terbaik. Sebelum masuk kelas, ku antarkan Feni ke kampusnya, karena kampus kami begitu dekat. Sampai di depan kampus, feni menatapku dengan raut wajah yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Sebelum masuk gerbang Feni berkata padaku,
“Erik, nanti aku mau pulang duluan, kamu gak usah jemput aku ya”.
“Okey tuan putri”jawabku.
“Erik jaga diri baik baik ya”
“So pastiiii, demi kamu” ujarku sambil bercanda.
Feni hanya mengguk kemudian masuk gerbang, hari ini aku merasa ada yang beda,  sebelum masuk kelas biasanya dia menoleh ke arah ku dan memberikan senyum termanisnya. Tapi kali ini dia langsung masuk kelas, seolah aku tidak ada. Saat itu  aku mencoba menganggapnya biasa.
Jam duabelas siang aku masih sibuk mencari referensi di perpustakaan pusat. Tiba-tiba HP ku berdering.
“Haloo, Erik”
“Ya Dik, Da apa?”
“Feni kecelakaan”
“Diko kamu jangan bercanda!”
“Aku serius Er, sekarang kamu cepat  ke RSUD!"
“Kondisinya gimana Dik”
“Aku juga belum tahu, cepat Er!”
Aku menutup hand phone dan langsung meneuju rumah sakit.
Sampai disana semua keluarga Feni menunggu di depan UGD, mereka tampak shok. Aku pun mendekati Ayah Feni dan bertanya,
“Bapak, gimana kondisi Feni sekarang?”
“Aku belum tahu  nak, Dokter belum memberi tahu kondisinya”,
Hatiku semakin kacau, aku benar-benar cemas dengan kondisi Feni. Dalam doaku hanya ada satu permintaan, “Tuhan selamatkan dia,”. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang unit gawat darurat. Aku dan semua kelurga Feni menghampirinya.
“Bagaimana kondisi anak kami Dok?” Tanya bapak dengan suara tepatah-patah.
“Kondisinya memang parah, tapi dia sudah melewati masa kritisnya”
Semuanya mengucapakan “Alhamdulilah” dan akupun sedikit lega. Beberapa jam kemudian Feni dipindahkan ke ruang lain. Aku, bapak, dan ibu menemaninya sepanjang malam. Dalam hening dan sepi aku menatap wajahnya, saat melihatnya aku teringat saat dia tersenyum dan tertawa lepas. Tak terasa air mataku menetes membahasi tanganku yang pucat. “Oh tuhaan aku tak sanggup melihat semua ini”.
Pada saat yang sama, ibu pun tak kuasa menahan tangisnya. 
Jam setengah empat pagi kondisi Feni semakin lemah, mungkin dia drop. Aku berlari memanggil dokter agar segera dilakukan tindakan medis. Dalam hitungan menit Feni di bawa dokter ke dalam ruangan. Tampaknya hal yang serius terjadi sama Feni. Kami bertiga menunggu dengan sepenuh doa. Berharap dia bisa melewati masa kritisnya. Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan itu dan menemui kami.
Sambil menangis ibu bertanya, “Bagaimana Feni Dokter”
“Bapak , Ibu, kami mohon maaf! Kami sudah berusaha semaksimal mungkin”
“Maksud dokter apa?” Tanya ku
“Feni tidak bisa kami selamatkan”
Tiba-tiba ibu menjerit, seperti tak percaya kalau Feni sudah meninggal.
Saat itu badanku seperti lemas tak bertdaya, aku menghela nafas panjang dan menutup mata. Kusandarkan tubuhku ke dinding, aku terdiam, aku tak percaya di pergi secepat itu,. Malam itu aku seperti mati rasa. Aku tenggelam dalam duka mendalam.
            Hari berikutnya aku mencoba untuk menerima kenyataan, tapi semua peristiwa yang pernah  ku jalani dengan Feni seperti di putar ulang. Bayangannya muncul begitu saja. Aku merasa dunia sudah tak punya arti, aku hidup dalam keputus asaan.
Hari kedua setelah kepergian Feni, aku mulai tegar, aku bisa mengikhlaskan dia, hari itu aku meminta Diko untuk mengantarku kepusara terakhirnya. Di sana mataku tertuju  pada batu nisan yang menjadi symbol kepergiannya. Di depan makam Aku bicara, “Feni, jasadmu memang tertanam di tanah ini, tapi aroma tubuhmu masih terasa, masih sama seperti saat-saat kita bersama”. Aku terus bergumam, “Feni, semoga kamu mendapatkan yang terbaik disana, aku merindukanmu, aku inginkan kamu”.
Melihat tingkahku yang tak terkendali, tiba-tiba Diko mencoba mengangkat tubuhku, dia memapahku kemudian mengajakku untuk pulang. Sampai dikontrakan, aku teringat dengan peristiwa yang menjadikan kami lebih dekat. Dulu setiap jam lima pagi Feni membangunkan aku, bahkan pada jam yang sama aku dan Feni menyatukan hati, dan ternyata Feni juga meninggalkan aku jam lima pagi untuk selamanya. Aku pun kembali teringat dengan perkataan Feni dua hari yang lalu saat mengantarnya kuliah, dia mengatakan bahwa dia ingin pulang duluan. Dan aku menanggapinya tak serius. Aku baru menyadari kalau perkataan Feni adalah pesan terakhirnya. dengan hati yang kalut, kucoba tuliskan sepenggal kisah tentang dia, tapi hari itu tak menhasilkan apa-apa kecuali beberapa baris puisi,

Selamat Tinggal Cinta
Kemarau telah merenggut tubuhmu dalam debu
dan aku melepasmu dalam udara kepedihan

semesta  terdiam
Hanya aroma bunga dan tanah basah  mencoba untuk bercerita
Bahwa cinta butuh lelah

Cintaku tak se kekal yang ku duga
Seperti kamu yang pergi untuk tak kembali
Selamanya
            Satu minggu kemudian aku mendapat kabar, bahkan informasinya langsung dari pihak kepolisian. mereka mengatakan bahwa apa yang di alami Feni bukan kecelakaan biasa, melainkan dia sengajak ditabrak. Setelah ku Tanya lebih lanjut. Polisi mengungkapkan bahwa pelakunya adalah Reihan. Dia adalah mantan pacar Feni, yang pernah mengeroyokku di hugos` café satu tahun yang lalu. polisi juga menuturkan kalau dalang dari pembunuhan itu adalah Sheila. Aku terkejut. Apa alasan mereka sehingga begitu tega melakukan itu pada Feni. Aku semakin merasa bersalah, karena tidak bisa menjaganya seperti yang telah kujanjikan.
            Dalam persidangan mereka terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan rencana pembunuhan bersama-sama. Mereka divonis 20 tahun penjara. Aku merasa tidak puas dengan vonis hakim. Seharusnya mereka dihukum mati atau di penjara seumur hidup
Setelah aku tahu semuanya, rasa dendam semakin berkobar dalam dadaku, darahku seakan mendidih, bergejolak seiring kepedihan yang menyayatku setiap waktu. aku ingin membalas kekejian mereka, tapi tuhan mengingatkan aku lewat ayat-ayatnya. dan aku hanya bisa pasrah. Tak ada yang bisa ku lakukan  kecuali menyerahkan semuanya kepada yang berwajib. selanjutnya biarlah tuhan yang mengadili mereka karena telah merampas separuh jiwaku untuk selamanya.
Bersambung

Rabu, 20 Oktober 2010

Antologi Puisi W.S Rendra

KANGEN



Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku

menghadapi kemerdekaan tanpa cinta

kau tak akan mengerti segala lukaku

kerna luka telah sembunyikan pisaunya.

Membayangkan wajahmu adalah siksa.

Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.

Engkau telah menjadi racun bagi darahku.

Apabila aku dalam kangen dan sepi

itulah berarti

aku tungku tanpa api.



KENANGAN DAN KESEPIAN

Rumah tua

dan pagar batu.

Langit di desa

sawah dan bambu.



Berkenalan dengan sepi

pada kejemuan disandarkan dirinya.

Jalanan berdebu tak berhati

lewat nasib menatapnya.



Cinta yang datang

burung tak tergenggam.

Batang baja waktu lengang

dari belakang menikam.



Rumah tua

dan pagar batu.

Kenangan lama

dan sepi yang syahdu

Puisi-puisi Rendra




KELELAWAR

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.

Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi metafizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

W.S. Rendra Koleksi Puisi-puisi Willibordus Surendra (m/s:11)



PAMFLET CINTA

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan
.… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku Kangen

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih,…
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978



Puisi Terakhir Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu


Surat Cinta

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !

Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !

Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan

Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu:
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain...
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa

Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit:
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku

Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !





Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada








SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah

O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara

Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998

SAJAK SEBATANG LISONG

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
????????..

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
???????????

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA( itb bandung - 19 agustus 1978 )



Perempuan yang Tergusur

Hujan lebat turun di hulu subuh
disertai angin gemuruh
yang menerbangkan mimpi
yang lalu tersangkut di ranting pohon

Aku terjaga dan termangu
menatap rak buku-buku
mendengar hujan menghajar dinding
rumah kayuku.
Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi
dan lalu terbayanglah wajahmu,
wahai perempupan yang tergusur!


Tanpa pilihan
ibumu mati ketika kamu bayi
dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu.
Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa.
Umur enam belas kamu dibawa ke kota
oleh sopir taxi yang mengawinimu.
Karena suka berjudi
ia menambah penghasilan sebagai germo.

Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya.
Bila kamu ragu dan murung,
lalu kurang setoran kamu berikan,
ia memukul kamu babak belur.
Tapi kemudian ia mati ditembak tentara
ketika ikut demontrasi politik
sebagai demonstran bayaran.

Sebagai janda yang pelacur
kamu tinggal di gubuk tepi kali
dibatas kota
Gubernur dan para anggota DPRD
menggolongkanmu sebagai tikus got
yang mengganggu peradaban.
Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada.
Jadi kamu digusur.

Didalam hujuan lebat pagi ini
apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan
sambhil memeluk kantong plastik
yang berisi sisa hartamu?
Ataukah berteduh di bawah jembatan?

Impian dan usaha
bagai tata rias yang luntur oleh hujan
mengotori wajahmu.
kamu tidak merdeka.
Kamu adalah korban tenung keadaan.
Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya
yang tak mungkin kamu seberangi.

Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu.
Tetapi aku memihak kepadamu.
Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin
di jidatmu?

O,cendawan peradaban!
O, teka-teki keadilan!

Waktu berjalan satu arah saja.
Tetapi ia bukan garis lurus.
Ia penuh kelokan yang mengejutkan,
gunung dan jurang yang mengecilkan hati,
Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya
puncak penderitaan yang menyakitkan hati,
atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah,
selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah,
ialah kedudukan kaum terhina.

Tapi aku kagum pada daya tahanmu,
pada caramu menikmati setiap kesempatan,
pada kemampuanmu berdamai dengan dunia,
pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri,
dan caramu merawat selimut dengan hati-hati.

Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana
semak yang berduri bisa juga berbunga.
Menyaksikan kamu tertawa
karena melihat ada kelucuan di dalam ironi,
diam-diam aku memuja kamu di hati ini.

Cipayung Jaya
3 Desember 2003
Rendra


Selayang pandang tentang sastra

(1) Apakah sastra itu ? 
Sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartisikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. secara umum, sastra dapat diartikan sebagai seni bahasa.  

(2) Aspek apakah yang harus ada dalam sastra? 
Ada tiga aspek yang harus ada dalam sastra, yaitu   keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Kalau ada sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
(3) Ada berapa jenis sastra? 
Sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama.
(4) Apakah puisi itu? 
Puisi ialah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus. Puisi mencakupi satuan yang lebih kecil, seperti sajak, pantun, dan balada.  
(5) Apakah prosa? 
Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Yang termasuk prosa, antara lain cerita pendek, novel, dan esai.  
(6) Apakah drama itu? 
Drama ialah jenis sastra dalam bentuk puisi atau prosa yang bertujuan menggambarkan kehidupan lewat lakuan dan dialog (cakapan) para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan panggung.  
(7) Apakah sanjak itu? 
Istilah sanjak dihindari pemakaiannya. Sebagai gantinya digunakan istilah sajak. .
(8) Apakah sajak itu? 
Sajak ialah karya sastra yang berciri mantra, rima, tanpa rima, ataupun kombinasi keduanya. Kekhususannya, jika dibandingkan dengan bentuk sastra yang lain, terletak pada kata-katanya yang topang-menopang dan berjalinan dalam arti dan irama.
 
(9) Apakah rima itu? 
Rima ialah pengulangan bunyi berselang dalam sajak, baik di dalam larik (baris, leret) maupun pada akhir larik-larik yang berdekatan. Agar terasa keindahannya, bunyi yang berima itu ditampilkan dalam tekanan, nada, atau pemanjangan suara. Jenis rima, antara lain runtun vokal atau asonansi, purwakanti atau aliterasi, dan rima sempurna. Contoh: Apa yang terjadi nanti
10) Apakah manfaat sastra?
Penyair Romawi kuno, Horatius merumuskan manfaat sastra dengan ungkapan yang padat, yaitu dulce et utile 'menyenangkan dan bermanfaat". Menyenangkan dapat dikaitkan dengan aspek hiburan yang diberikan sastra, sedangkan bermanfaat dapat dihubungkan dengan pengalaman hidup yang ditawarkan sastra.
(11) Hiburan apakah yang ditawarkan sastra? 
Sastra, antara lain menawarkan humor seperti yng dilihat pad petikan berikut : Hujan Air hujan turunnya ke cucuran atap Kalau banjir atapnya yang turun ke air Penderitaan Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersakit-sakit berkepanjangan (Taufik Ismail) Siapakah pembaca yang tidak tersenyum simpul digelitik humor sajak ini?
(12) Pengalaman apakah yang ditawarkan sastra? 
Sastra, antara lain, menawarkan pengalaman hidup yang dapat memperluas wawasan pembacanya seperti yang terlihat pada sajak berikut. TUHAN, KITA BEGITU DEKAT Tuhan, Kita begitu dekat Sebagai api dengan panas Aku panas dalam apimu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti kain dengan kapas Aku kapas dalam kainmu Tuhan, Kita begitu dekat Seperti angin dan arahnya Kita begiu dekat Dalam gelap Kini aku nyala Pada lampu padammu (Abdul Hadi) Penyair Abdul Hadi ingin berbagi pengalaman religiusnya dengan pembacanya. Pada suatu saat ia begitu dekat dengan Tuhan. Pada saat yang lain ia merasa tidak berarti di hadapan Tuhan, seperti nyala lampu ketika padam, musnah, hilang, ke dalam Yang Mahagaib.

Selasa, 19 Oktober 2010

Antologi Puisi

             Puisi Bukan sekedar ungkapan hati, perasaan, pikiran, dan semangat pengarangnya. tapi puisi memiliki makna dan pesan yang di kemas dalam bahasa yang indah dan memesona. Puisi adalah gambaran kehidupan yang dituangkan dalam goresan tinta dengan memunculkan pencitraan sebagai representasi dari hati dan pikiran penulisnya. dalam perkembangannya, puisi tidak lagi terikat oleh permainan rima dan aturan aturan. dalam menulis puisi seorang pengarang bisa menumpahkan pikirannya dengan bebas dan penuh ekspresif.
            Puisi sebagai salah satu genre sastra tidak haya menjadi pelengkap dalam kesusastraan. tapi puisi memiliki perannya sendiri dalam membangun mental spiritual dan memperhalus budi para peminatnya. sejarah sudah mencatat bahwa puisi tetap eksis dalam segala zaman. Bahkan di era global yang di dominasi oleh tekhnologi mutakhir seperti saat ini. puisi masih bertahan dan menjadi salah satu komponen dari pekembangan jaman yang penuh tantangan. berikut ini adalah beberapa puisi yang di tulis berdasarkan realita kehidupan dengan menjadikan alam sebagai lambang .



Tentang hidup dan Keabadian
Tentang kebenaran dan kesangsian anak manusia
Dalam goresan tinta emas pada masa yang tak mengenal batas, 
ada juga air mata pada bingkai tua. Inilah kisah tentang kebenaran abadi.



Karena Kamu
aku adalah awan hitam yang mencoba menahan sinarmu
semakin tebal, semakin aku tak berdaya
dan aku menjadi butiran hujan yang meleleh dalam hangat senyummu

kemarin kamu adalah air mata
tapi saat ini kamu menjadi udara dalam hela nafasku

mungkin aku harus memilih
menjadi gunung es yang mencair
atau bola salju yang bergulir dengan sendirinya


Racun

kalau saja hatimu sesak dengan kebencian masa lalu
izinkan aku menyisipkan sepenggal rasa yang tersisa

kalau tidak
biarkan aku menyayat rongga dadamu
memeberikan luka kedua ditempat yang sama
agar aku bisa menawarkan kebencian itu
dan mennumpahkan semua racunnya

semuanya
agar kamu bisa kembali pada jalan fitrahmu

padamu aku takkan kembali
Karena hanya padaNya semua akan kembali.

Probolinggo, 27 Oktober 2009



 Evolusi Kalbu

cintaku subur di dunia yang kerontang, tak tergoyah oleh angin penderitaan,
Bahkan tak terhapus oleh derasnya gelombang suara sumbang.

tapi sayang...!!!
dzahirmu kini memupuk segenap keraguanku
hingga hatiku terdampar diantara ambisi dan nurani

Malang, 9 Agustus 2007


Permintaan

aku sudah melewati pasang surut kehidupan
kulitku sudah merasakan dahsyatnya badai matahari
tapi semua itu takkan menggoyahkan keyakinan dan prinsip hidup yang kupahat dalam nurani terdalam

aku akan tetap berdiri di hadapan Mu
sekalipun garis takdir memporak-porandakan semesta raya
akupun akan selalu bersujud
sekalipun jasad ini lepas dari pemiliknya

tapi tuhan....
jangan terburu-buru
aku masih ingin menjadi orang besar


Surga Cinta

Aku tak pernah terusir dari surga
Karena aku bukan adam dan ia bukan hawa

Aku tak pernah khilaf  karena cinta
Tapi tuhan pisahkan kita
Seperti mereka yang terpaksa membangun surganya sendiri-sendiri

Aku bukan adam yang bisa hidup tanpa surga
Karena surgaku adalah kamu.

Bila hari ini aku masih bertahan
Itu karena kau masih ada dalam hela nafasku,
Dalam darahku,
Dalam bayang-bayang semu  yang kemudian lenyap saat ku rengkuh


Tuhan padamu aku pasrah
Karena aku percaya, Adam dan hawa pasti bersatu
Dan mereka punya satu surga
Yaitu cinta!
Hilangnya Terang

Kabut di matamu begitu tebal
Seolah-olah pekat tak tersentuh oleh terang
Mungkin sudah terlalu lama
Air mata itu mengendap dalam rawa kepedihan

Sempat ku hapus duka di matamu
Saat tenggelam kurasakan badai
Sepertinya kepedihan menyisakan jeram dihatimu

ketika matahari itu datang
Kabut mulai beranjak dari pelupuk matamu yang teduh
Tapi matahari masih bukan milikmu
Karena kabut merampas terang
Dan kau tertunduk rapuh

Kalau saja aku bisa
Aku tidak ingin kamu menjadi apapun
Karena kamu adalah air mata

Simpul di Wajahmu

Matamu adalah pertir bagi semestaku
Remuk aku menjadi bongkah-bongkah debu
Aku tahu, Alismu bukan bulan sabit
Tapi indah itu adalah kelopak matamu

Didagumu kutemukan sepotong surga
Tapi aku tak pernah tahu itu milik siapa?

Aku pernah menatapmu
Di rembang yang tak kenal mati
Kurangkai simpul di wajahmu
Sampai dunia bicara
Mungkin tak pernah ku temui dalam mimpi atau imaji

Mungkin karena kata tak lagi ada

Sebab ketiadaannya pun serasa sama
Mungkin saja kali ini senyum dibibirmu adalah misteri
Namun aku yakin bisa menyingkap semua
Seperti angin pada kabut yang menjadikannya lenyap

Selamat Tinggal Cinta

Kemarau telah merenggut tubuhmu dalam debu
dan aku melepasmu dalam udara kepedihan

semesta  terdiam 
Langitpun membisu
Hanya aroma bunga dan tanah basah  mencoba untuk bercerita
Bahwa cinta butuh lelah

Cintaku tak se kekal yang ku duga
Seperti kamu yang pergi untuk tak kembali
Selamanya


Aksara cinta Untuk Dia

Wanita yang berjalan di tebing-tebing cintaku
Adalah kamu gadis purbawi dalam selimut nafasku

Namamu serupa pahatan aksara yang tak sempat terbaca
Sekalipun pernah ku eja  tetap saja
Aku tak mengerti tentang barisan makna

Bila nanti aksara cinta bercampur debu
Biarkanlah aku memujamu seperti berhala dalam beku salju

Tapi jangan pernah biarkan aku
Terbeku dalam kabut Tanya yang memeluk segala keraguan.



Badai Kalbu

Asmara ku
Tenggelam dalam sejuta ambisi
Cintaku
Terpasung oleh hasrat liarku sendiri

Nurani, kujadikan tumbal
Akal sehat, kuracuni dengan segala pembenaran
Kesabaran, ku lumpuhkan dengan obsesi

Semuanya lenyap
Semuanya berubah

Yang tersisa adalah  impian, dan harapan yang berjalana sendiri-sendiri

diambil dari antologi Heroe Asmara